Pati, TABAYUNA.com - "Jumlah perempuan selalu lebih banyak dari pada laki-laki. Tapi jumlah keterwakilan perempuan di parlemen tidak berbanding lurus dengan jumlah mereka. Bahkan hak-hak politiknya selalu terabaikan." Demikian moderator seminar pendidikan politik untuk perempuan itu membuka acara, Selasa (18/2/2020).
Hal itu juga diamini oleh kedua narasumber, Moh. Zen Adv, Ms. I. dan ibu Umi Nadhiroh, M. Pd. dalam seminar pendidikan politik untuk perempuan yang diselenggarakan oleh PC. Fatayat kabupaten Pati, di aula PC NU Pati.
Lebih jauh Umi Nadhiroh menegaskan beberapa alasan ketertinggalan perempuan dalam politik dibanding laki-laki. "Ada banyak faktor yang menyebabkan perempuan tertinggal dalam politik. Diantaranya adalah karena budaya," tegas mantan anggota KPUD Pati selama dua periode itu.
"Budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kedua masih sulit dihilangkan dari masyarakat. Akibatnya, keberanian perempuan untuk memasuki dunia politik masih cukup rendah. Meski sudah ada UU politik yang mengatur kuota 30 % perempuan, tetap saja suara perempuan di parlemen belum kunjung naik. Hal itu terbukti di kabupaten Pati sendiri, dimana selama tiga periode berturut-turut jumlah anggota legislatif dari unsur perempuan masih tetap, yakni 16 orang.
Selain budaya, ada pula masalah media. Sebagian besar media tidak kurang tertarik menampilkan profile politisi perempuan secara masif. Sehingga banyak para caleg perempuan yang memiliki kapabilitas tinggi, tetapi tidak dikenal oleh masyarakat akibat tidak ada media yang menampilkan dan mengenalkan mereka ke publik.
Di pihak lain, regulasi tentang kuota 30 persen juga belum beranjak pada upaya penekanan perolehan suara perempuan. Regulasi tersebut hanya mampu menekan pada proses pencalonan, bukan perolehan suara. Sehingga hasil kuota perempuan di parlemen hingga hari ini masih jauh dari kuota 30%.
Di sisi lain, dukungan terhadap keterlibatan perempuan di dunia politik masih sangat rendah. Terutama dari lingkungan keluarga. Motivasi perempuan untuk terlibat dalam politik seringkali dimentahkan oleh keluarga terdekatnya, seperti suami, orang tua, atau keluarga yang lain. Inilah dilema yang kita hadapi hingga hari ini.
Padahal jika kita lihat realitas ormas-ormas yang beranggotakan perempuan, selalu ramai pengikutnya. Seperti Fatayat atau muslimat. "Berapa banyak anggota mereka sampai di tingkat ranting-ranting. Jika mereka serius mengusung calon perempuan, mestinya mereka mampu memperoleh suara yang signifikan." Tegas anggota DPR Jateng dari fraksi PKB, Moh. Zen Adv.
Hambatan-hambatan perempuan ketika hendak terlibat dalam dunia politik harus terus dicarikan solusinya. Solusi itu bisa melalui dua pendekatan, yaitu kultural melalui pendidikan politik seperti ini. Juga melalui pendekatan struktural, yaitu dengan melalui affirmative action yang memberikan kesempatan khusus terhadap perempuan. Disamping itu juga secara terus menerus mendorong para wakil rakyat untuk l memperbaiki regulasi agar dapat menjami hak politik perempuan yang setara dengan laki-laki. (Tb33/Elbaroroh).
Hal itu juga diamini oleh kedua narasumber, Moh. Zen Adv, Ms. I. dan ibu Umi Nadhiroh, M. Pd. dalam seminar pendidikan politik untuk perempuan yang diselenggarakan oleh PC. Fatayat kabupaten Pati, di aula PC NU Pati.
Lebih jauh Umi Nadhiroh menegaskan beberapa alasan ketertinggalan perempuan dalam politik dibanding laki-laki. "Ada banyak faktor yang menyebabkan perempuan tertinggal dalam politik. Diantaranya adalah karena budaya," tegas mantan anggota KPUD Pati selama dua periode itu.
"Budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kedua masih sulit dihilangkan dari masyarakat. Akibatnya, keberanian perempuan untuk memasuki dunia politik masih cukup rendah. Meski sudah ada UU politik yang mengatur kuota 30 % perempuan, tetap saja suara perempuan di parlemen belum kunjung naik. Hal itu terbukti di kabupaten Pati sendiri, dimana selama tiga periode berturut-turut jumlah anggota legislatif dari unsur perempuan masih tetap, yakni 16 orang.
Selain budaya, ada pula masalah media. Sebagian besar media tidak kurang tertarik menampilkan profile politisi perempuan secara masif. Sehingga banyak para caleg perempuan yang memiliki kapabilitas tinggi, tetapi tidak dikenal oleh masyarakat akibat tidak ada media yang menampilkan dan mengenalkan mereka ke publik.
Di pihak lain, regulasi tentang kuota 30 persen juga belum beranjak pada upaya penekanan perolehan suara perempuan. Regulasi tersebut hanya mampu menekan pada proses pencalonan, bukan perolehan suara. Sehingga hasil kuota perempuan di parlemen hingga hari ini masih jauh dari kuota 30%.
Di sisi lain, dukungan terhadap keterlibatan perempuan di dunia politik masih sangat rendah. Terutama dari lingkungan keluarga. Motivasi perempuan untuk terlibat dalam politik seringkali dimentahkan oleh keluarga terdekatnya, seperti suami, orang tua, atau keluarga yang lain. Inilah dilema yang kita hadapi hingga hari ini.
Padahal jika kita lihat realitas ormas-ormas yang beranggotakan perempuan, selalu ramai pengikutnya. Seperti Fatayat atau muslimat. "Berapa banyak anggota mereka sampai di tingkat ranting-ranting. Jika mereka serius mengusung calon perempuan, mestinya mereka mampu memperoleh suara yang signifikan." Tegas anggota DPR Jateng dari fraksi PKB, Moh. Zen Adv.
Hambatan-hambatan perempuan ketika hendak terlibat dalam dunia politik harus terus dicarikan solusinya. Solusi itu bisa melalui dua pendekatan, yaitu kultural melalui pendidikan politik seperti ini. Juga melalui pendekatan struktural, yaitu dengan melalui affirmative action yang memberikan kesempatan khusus terhadap perempuan. Disamping itu juga secara terus menerus mendorong para wakil rakyat untuk l memperbaiki regulasi agar dapat menjami hak politik perempuan yang setara dengan laki-laki. (Tb33/Elbaroroh).
Tambahkan Komentar