Muhammad Rois Ronaldi |
Dalam pengantarnya, Koordinator GLM Hamidulloh Ibda mengatakan bahwa kegiatan kuliah sastra ini merupakan Diklat GLM part 3 yang fokus pada karya sastra. "Program GLM ini sudah terlaksana yang ketiga dan via webinar dan akan berakhir pada bulan Agustus 2020," kata dia.
Muhammad Rois Rinaldi menjelaskan banyak tentang puisi. "Puisi itu tidak sekadar masalah kebebasan berekspresi, tapi lebih pada ketapatan," kata sastrawan yang pernah dinobatkan sebagai Tokoh Sastrawan Asia Tenggara oleh eSastera pada Desember 2015 di Kuala Lumpur tersebut.
Pria kelahiran Banten yang pernah menerima Piala Bergilir Nik Zafri di Kuala Lumpur pada Desember 2014 ini juga menjelaskan beberapa kesalahan menulis puisi. Pertama, tidak ada yang ingin disampaikan atau menyampaikan sesuatu yang telah disampaikan banyak orang dengan cara yang sama. Kedua, sering menggunakan kata abstrak dibandingkan kata konkret. Ketiga, pembuka puisi dibuat bertele-tela. Keempat, atas nama licentia poetika, sering melabrak konvensi tanpa memberikan tawaran apa-apa. Kelima, metafora yang berfungsi mengkonkretkan puisi dijadikan dalih menciptakan puisi tanpa gambaran konkret.
Rois juga menjelaskan solusi yang harus dilakukan. Pertama, hindari sentimentalitas. Kedua, gunakan imaji. Ketiga, gunakan kata-kata lonkret. Keempat, pahami sub-sub genre puisi. Kelima, puisi selalu memiliki tema. Keenam, hindari klise. Ketujuh, maksimalkan penggunaan metafora dan simile untuk mengkonkretkan hal-hal abstrak.
"Seni penulisan bukanlah soal tata bahasa, meski bahasa tidak dapat tidak adalah medianya," beber Juara I Lomba Menulis Puisi 3 Negara tahun 2012 tersebut.
Selanjutnya, Rois juga memberi penugasan yang ditindaklanjuti dengan peminatan GLM yang integral sesuai program dari Tim GLM.
Sementara Eko Sam, menyampaikan materi tentang cerpen. "Sebelum melangkah jauh, coba Anda merefleksi diri, apa niat Anda menulis cerpen? Ada yang honor, terkenal, mau kaya? Tapi kebutuhan seperti itu, di era sekarang tidak dapat dijadikan sumber kehidupan," tegas penulis buku antologi cerpen Sabda Malaikat tersebut.
Kalau zaman kuliah, kata dia, lumayan lah dapat honor untuk biaya kuliah. "Terkenal? Ya, saya punya cerita ketika dulu ketemu orang oh... ini to Mas Eko. Ya begitu saja. Mau kaya? Tidak bisa kalau hanya fokus menulis cerpen. Tidak satu pun penulis cerpen yang kaya raya hanya karena menulis cerpen," beber dia sambil merefleksikan diri.
Seorang cerpenis, kata dia, rata-rata memiliki pembacaan terhadap segala fenomena dengan penuh pemaknaan. "Misal saja, ia melihat seekor semut yang tengah berenang-renang di dalam cangkir kopi yang hendak diseputnya. Bagi penulis cerpen, hal itu bisa jadi cerita menarik jika pemaknaannya berbeda," lanjut Tim GLM LP Ma'arif PWNU Jateng itu.
Usai pemaparan dari dua pemateri, kegiatan dilanjutkan dengan tanya jawab serta tindaklanjut berupa peminatan. (Tb55).
Tambahkan Komentar