Semarang, TABAYUNA.com – Program Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) part 5 yang digelar Bidang Diklat dan Litbang LP Ma’arif PWNU Jateng pada Senin (6/7/2020) mengusung materi kuliah artikel populer. Hadir Koordinator GLM Hamidulloh Ibda dan Tim GLM dan Juara 1 Lomba Esai RMI PBNU 2017 Junaidi Abdul Munif sebagai pemateri.
Dalam pemaparannya, Hamidulloh Ibda menjelaskan menulis artikel populer merupakan bagian dari artikel ilmiah yang rumpun atau genrenya lebih santai. “Menulis artikel populer itu wahana menjadi manusia merdeka, karena lebih santai, pendapat pribadi, tidak bertele-tele kaku, memakai rujukan seperti artikel ilmiah. Pokoknya artikel populer itu karya tulis dengan tema tertentu, ditulis dengan gaya bahasa populer atau ngepop, lebih banyak pendapat pribadi dan dimuat di media massa,” beber Juara 1 Lomba Artikel Tingkat Nasional Kemdikbud tahun 2018 tersebut.
Jika artikel ilmiah sangat kaku, kata dia, menggunakan rujukan, harus metodologis, sesuai author guidelines, maka artikel populer kalau bahasa “sak omong-omongmu” itu laku. “Itu perbedaan mendasar,” kata Kaprodi PGMI STAINU Temanggung tersebut.
Penulis buku Sing Penting NUlis Terus ini juga menegaskan, beberapa alasan seorang harus menulis. “Tidak ada orang besar tanpa tulisan, wahana aktualisasi (kritik, curhat), pengabdian, investasi ide/menjaga tradisi ilmiah, materi-Imateri, kum (PAK) 0,5, nama, grade akreditasi BAN-PT kriteria 9 (luaran), menghidupkan budaya penelitian, mengabadi, dicatat dalam sejarah/ rekam jejak digital,” tegas pria kelahiran Pati itu.
Sedangkan ciri-ciri artikel populer, menurut Pimred Jurnal ASNA ini, ada beberapa hal. Pertama, bahasa populer (ngepop), tidak terlalu kaku/ilmiah. Kedua, dimuat di media massa (cetak/daring). Ketiga, tidak memakai rujukan (sunah). Keempat, tidak ada daftar pustaka. Kelima, lebih banyak berisi pendapat pribadi daripada teori. Keenam, jumlah karakternya sekitar 5000-8000 (2 halaman A4). Ketujuh, mengulas isu-isu terkini atau yang sedang viral.
Ada beberapa tips mencari dan mencuri ide. “Membaca literatur (buku, jurnal ilmiah, prosiding, artikel/esai populer), diskusi, membaca ide-ide tercecer di media sosial (FB, IG, Twitter), mencari ide-ide terbuang di layanan pesan (WA, BBM, Line), wawancara/tanya-tanya, merenung, kontemplasi di WC, membaca yang ditulis, menulis yang dibaca, mengendapkan, dan lalu mengirim,” tegas dosen Karya Tulis Ilmiah tersebut.
“Ketika mau menjadikan status di medsos orang lain, usahakan izin ketika mau kita jadikan judul, karena etiknya begitu, jadi kita bukan plagiat namanya,” tegas Juara 1 Lomba Esai Tingkat Nasional Fakultas Filsafat UGM tahun 2018 itu.
Selain itu, pihaknya juga menceritakan pengalaman pertama kali dimuat dan menulis sejak 2008 hingga saat ini. Bapak dari Sastra Nadira Iswara ini juga memberikan daftar media-media yang menyediakan honor untuk penulis artikel populer maupun esai.
Di sesi teknis, ia menjelaskan cara menggali ide, merumuskan tulisan dari lead atau kepada, body atau tubuh, dan tail atau ekor artikel. “Kalau bisa, lead yang menarik, karena yang dibaca redaktur pertama kali itu selain judul ya kepala artikel, kalau awalnya sudah tidak menarik, mbulet, ya sudah diskip artikel kita, karena pengirim artikel populer di media massa itu banyak,” jelas penulis kolom di berbagai media massa itu.
“Tidak ada tips pasti agar dimuat. Tapi, pahami karakter media massa itu, sebelum dikirim, usahakan meminta teman yang senior untuk mengomentari artikel kita, pahami kecenderungan redaktur memilih artikel yang dimuat, kalau perlu lakukan opini tandingan atas opini yang sudah dimuat, intinya menulis dan istikamah mengirim, pokoknya itu,” tegas dia.
Sementara itu, Junaidi Abdul Munif juga menceritakan sejarah perkembangan esai. “Modal utama bagi penulis esai adalah membaca buku apa pun, mendengar apa pun. Selajur dengan semangat postmodernisme, tidak ada lagi kebenaran tunggal yang mutlak. Esai adalah bagian dari dekonstruksi, membongkar narasi-narasi besar melalui secuil narasi kecil,” beber lulusan Unwahas itu.
Pengalaman pribadi saya dalam menulis esai, kata dia, saya banyak memungut berbagai khasanah yang saya anggap cocok. Misalnya dalam menulis tentang kaitan pendidikan dan profesi, film-film dari tahun 1970, 1980, dan 1990-an, menarik untuk dijadikan referensi, demi melihat salah satu keping penanda zaman. Bahwa pekerjaan yang populer dalam film kita adalah dokter, insinyur, hukum, ekonomi.
“Di antara yang pernah saya tulis, saya sering menggunakan lagu-lagu kritik sosial Iwan Fals sebagai titik pijak. Misalnya, lagu Teman Kawanku Punya Teman, Si Tua Sais Pedati, Mencetak Sawah, -untuk menyebut beberapa lagu yang saya ingat. Lagu-lagu ini saya tempatkan sebagai “penanda” era tertentu,” lanjut dia.
Problem yang sering muncul ketika menulis esai adalah writer’s block. Kondisi buntu, seperti tak bisa melanjutkan lagi. Menyiasatinya adalah dengan menyela dengan kegiatan lain, atau membaca lagi untuk mendapatkan suatu “pencerahan.” Tentu setiap orang memiliki siasat yang berbeda-beda untuk mengatasi writer’s block ini.
“Cara yang kedua adalah menulis pokok pikiran atau kalimat utama. Secara mudah, teknisnya adalah kita buat (misalnya) lima kalimat utama yang ditata dengan model paragraf. Kemudian kita lengkapi dengan kalimat-kalimat pengembang. Setelah kita terasa ada kalimat pengembang yang mungkin tidak nyambung dengan kalimat utama. Dan saya tata lagi agar lebih runtut,” papar dia.
Usai pemaparan materi dan teknis penulisan, pengiriman artikel dan esai populer ke media massa, webinar itu dilanjutkan dengan diskusi, sharing dan tanya jawab. Sesuai rencana, semua kegiatan GLM akan dilanjutkan dengan peminatan. (Tb55/k).
Dalam pemaparannya, Hamidulloh Ibda menjelaskan menulis artikel populer merupakan bagian dari artikel ilmiah yang rumpun atau genrenya lebih santai. “Menulis artikel populer itu wahana menjadi manusia merdeka, karena lebih santai, pendapat pribadi, tidak bertele-tele kaku, memakai rujukan seperti artikel ilmiah. Pokoknya artikel populer itu karya tulis dengan tema tertentu, ditulis dengan gaya bahasa populer atau ngepop, lebih banyak pendapat pribadi dan dimuat di media massa,” beber Juara 1 Lomba Artikel Tingkat Nasional Kemdikbud tahun 2018 tersebut.
Jika artikel ilmiah sangat kaku, kata dia, menggunakan rujukan, harus metodologis, sesuai author guidelines, maka artikel populer kalau bahasa “sak omong-omongmu” itu laku. “Itu perbedaan mendasar,” kata Kaprodi PGMI STAINU Temanggung tersebut.
Penulis buku Sing Penting NUlis Terus ini juga menegaskan, beberapa alasan seorang harus menulis. “Tidak ada orang besar tanpa tulisan, wahana aktualisasi (kritik, curhat), pengabdian, investasi ide/menjaga tradisi ilmiah, materi-Imateri, kum (PAK) 0,5, nama, grade akreditasi BAN-PT kriteria 9 (luaran), menghidupkan budaya penelitian, mengabadi, dicatat dalam sejarah/ rekam jejak digital,” tegas pria kelahiran Pati itu.
Sedangkan ciri-ciri artikel populer, menurut Pimred Jurnal ASNA ini, ada beberapa hal. Pertama, bahasa populer (ngepop), tidak terlalu kaku/ilmiah. Kedua, dimuat di media massa (cetak/daring). Ketiga, tidak memakai rujukan (sunah). Keempat, tidak ada daftar pustaka. Kelima, lebih banyak berisi pendapat pribadi daripada teori. Keenam, jumlah karakternya sekitar 5000-8000 (2 halaman A4). Ketujuh, mengulas isu-isu terkini atau yang sedang viral.
Ada beberapa tips mencari dan mencuri ide. “Membaca literatur (buku, jurnal ilmiah, prosiding, artikel/esai populer), diskusi, membaca ide-ide tercecer di media sosial (FB, IG, Twitter), mencari ide-ide terbuang di layanan pesan (WA, BBM, Line), wawancara/tanya-tanya, merenung, kontemplasi di WC, membaca yang ditulis, menulis yang dibaca, mengendapkan, dan lalu mengirim,” tegas dosen Karya Tulis Ilmiah tersebut.
“Ketika mau menjadikan status di medsos orang lain, usahakan izin ketika mau kita jadikan judul, karena etiknya begitu, jadi kita bukan plagiat namanya,” tegas Juara 1 Lomba Esai Tingkat Nasional Fakultas Filsafat UGM tahun 2018 itu.
Selain itu, pihaknya juga menceritakan pengalaman pertama kali dimuat dan menulis sejak 2008 hingga saat ini. Bapak dari Sastra Nadira Iswara ini juga memberikan daftar media-media yang menyediakan honor untuk penulis artikel populer maupun esai.
Di sesi teknis, ia menjelaskan cara menggali ide, merumuskan tulisan dari lead atau kepada, body atau tubuh, dan tail atau ekor artikel. “Kalau bisa, lead yang menarik, karena yang dibaca redaktur pertama kali itu selain judul ya kepala artikel, kalau awalnya sudah tidak menarik, mbulet, ya sudah diskip artikel kita, karena pengirim artikel populer di media massa itu banyak,” jelas penulis kolom di berbagai media massa itu.
“Tidak ada tips pasti agar dimuat. Tapi, pahami karakter media massa itu, sebelum dikirim, usahakan meminta teman yang senior untuk mengomentari artikel kita, pahami kecenderungan redaktur memilih artikel yang dimuat, kalau perlu lakukan opini tandingan atas opini yang sudah dimuat, intinya menulis dan istikamah mengirim, pokoknya itu,” tegas dia.
Sementara itu, Junaidi Abdul Munif juga menceritakan sejarah perkembangan esai. “Modal utama bagi penulis esai adalah membaca buku apa pun, mendengar apa pun. Selajur dengan semangat postmodernisme, tidak ada lagi kebenaran tunggal yang mutlak. Esai adalah bagian dari dekonstruksi, membongkar narasi-narasi besar melalui secuil narasi kecil,” beber lulusan Unwahas itu.
Pengalaman pribadi saya dalam menulis esai, kata dia, saya banyak memungut berbagai khasanah yang saya anggap cocok. Misalnya dalam menulis tentang kaitan pendidikan dan profesi, film-film dari tahun 1970, 1980, dan 1990-an, menarik untuk dijadikan referensi, demi melihat salah satu keping penanda zaman. Bahwa pekerjaan yang populer dalam film kita adalah dokter, insinyur, hukum, ekonomi.
“Di antara yang pernah saya tulis, saya sering menggunakan lagu-lagu kritik sosial Iwan Fals sebagai titik pijak. Misalnya, lagu Teman Kawanku Punya Teman, Si Tua Sais Pedati, Mencetak Sawah, -untuk menyebut beberapa lagu yang saya ingat. Lagu-lagu ini saya tempatkan sebagai “penanda” era tertentu,” lanjut dia.
Problem yang sering muncul ketika menulis esai adalah writer’s block. Kondisi buntu, seperti tak bisa melanjutkan lagi. Menyiasatinya adalah dengan menyela dengan kegiatan lain, atau membaca lagi untuk mendapatkan suatu “pencerahan.” Tentu setiap orang memiliki siasat yang berbeda-beda untuk mengatasi writer’s block ini.
“Cara yang kedua adalah menulis pokok pikiran atau kalimat utama. Secara mudah, teknisnya adalah kita buat (misalnya) lima kalimat utama yang ditata dengan model paragraf. Kemudian kita lengkapi dengan kalimat-kalimat pengembang. Setelah kita terasa ada kalimat pengembang yang mungkin tidak nyambung dengan kalimat utama. Dan saya tata lagi agar lebih runtut,” papar dia.
Usai pemaparan materi dan teknis penulisan, pengiriman artikel dan esai populer ke media massa, webinar itu dilanjutkan dengan diskusi, sharing dan tanya jawab. Sesuai rencana, semua kegiatan GLM akan dilanjutkan dengan peminatan. (Tb55/k).
Tambahkan Komentar