Oleh Ririn Widiastuti
Mahasiswa Prodi PGMI STAINU Temanggung
Dewasa ini dunia dihebohkan dengan menghadapi masa sulit mencari
kesejahteraan hidup utamanya bagi masyarakat kalangan bawah, mengapa demikian? Semua
itu disebabkan dengan adanya wabah Covid-19 yang menyerang dunia, khususnya masyarakat
Indonesia. lantaran hal itu, dalam bidang apa pun menjadi susah dan keuangan
menjadi macet layaknya kendaraan tanpa ada oli, seret. Wabah ini merengut semua
aspek kehidupan manusia, baik pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya. Hal
yang sangat terlihat yaitu dalam bidang ekonomi, banyak karyawan swasta
mengalami PHK sehingga menyebabkan jumlah pengangguran semakin meningkat.
Apalagi ingin mencari lowongan pekerjaan yang tak mudah untuk didapatkan.
Tak hanya di kota, dampak dari virus ini juga terasa sampai plosok
desa. Meskipun di desa akan tetapi dampak tersebut sangat berpengaruh dengan
keberlangsungannya arus keuangan yang menurun, misalnya yang bekerja sebagai
petani terutama di daerah Temanggung yang merupakan dataran tinggi. Temanggung
daerah subur yang setiap tahunnya menghasilkan sayur mayur, tembakau, kopi, dan
hasil pertanian lainnya. Hasil panen tersebut untuk meningkatkan perekonomian
daerah, karena sebagai komoditas utama masyarakat Temanggung.
Biasanya panen disuplai ke daerah-daerah yang berbatasan langsung
dengan Temanggung. Namun dengan adanya Covid-19, semuanya jadi kacau. Panen
yang diharapkan akan menghasilkan pemasukan yang tinggi, ternyata suatu mimpi
yang tak terwujud. Semua sektor hasil pertanian anjlok drastis tanpa
disangka-sangka. Hal itu tentunya menyebabkan petani Temanggung yang mengalami
kerugian cukup banyak.
Penyebab Meruginya Petani
Banyaknya pekerja yang terkena PHK, menyebabkan ekonomi menjadi
melemah. Pendapatan yang tidak ada, dan pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari
harus terus berjalan seperti biasanya. Banyak sektor-sektor yang terhambat
produksinya karena wabah ini, hal itu tak berlaku bagi sektor pertanian yang
justru mengalami jumlah pertumbuhan tinggi. Sejumlah petani Temanggung
mengalami panen di tengah pandemi, jumlah panen yang melimpah tak sebanding
dengan harga yang ditawarkan. Padahal sektor pertanian mencatat pencapaian yang
positif di tahun karena hasil yang melimpah. Namun hal ini berbanding terbalik dengan
yang dirasakan petani di lapangan.
Banyak petani yang berkeluh kesah tentang nasib yang mereka alami.
Sering mereka berkata-kata “nasibe dadi
wong cilik, rekasa terus”, itulah kata yang sering diucapkan masyarakat
Temanggung sebagai ciri khas bahasa Jawanya. Berangkat ketika embun masih segar
dan pulang sudah petang, hanya mendapatkan hasil yang tak seberapa. Bahkan ada petani
yang membiarkan tanamannya mati dan mengabaikannya saja di sawah mereka, dari
pada memanenya. Karena anggapan mereka jika memanen tanpa ada hasil, hanya akan
membuat capek. Temanggung daerah yang banyak menghasilkan kopi pilihan justru
pusing karena panen seperti tidak ada harganya. Harga kopi yang semula 1 kg
Rp.30.000 kini hanya dihargai Rp.15.000 sangat terlihat jika petani merugi 50%.
Panen yang dinantikan malah mejadi momok bagi petani kopi.
Temanggung dikenal sebagai negeri tembakau juga mengalami ekonomi yang
bernilai negatif, semula harga tembakau yang bisa mencapi Rp.100.000 lebih,
kini paling mahal hanya dihargai Rp.65.000, itu saja jenis tembakau yang
berasal dari lereng gunung sumbing, atau masyarakat biasanya menyebut daerah
ndeles. Saat musim jual kemarin, banyak petani tembakau yang demo dengan
mencabuti tanaman tembakau sebagi bentuk aksinya mencari perhatian dari
pemerintah daerah. Dikarenakan Temanggung memiliki pabrik rokok yang cukup
besar, sehingga hasil panen masyarakat Temanggung harus terbeli semua.
Saat ini Temanggung sedang banyak yang panen sayuran, misanya saja
tomat dan cabai. Dua sayur tersebut sudah tak asing lagi menjadi sektor utama
petani Temanggung. Hanya saja petani memasuki masa panennya di tengah pandemi
sehingga harga tak sebanding dengan perawatan yang diberikan selama ini. Cabai
yang dulu pada tahun 2015 harganya bisa mencapai Rp.60.000 per kilonya, kini
hanya dihargai Rp.4000. Mayoritas petani syok hasil panen yang harganya anjlok.
Sehingga petani Temanggung banyak yang membiarkan cabai terbengkalai di
sawahnya, dan membiarkan lapuk termakan usia. Namun ada juga petani yang
membagikan hasil panenya pada tetangganya sebagai bentuk sedakah atau rasa
syukurnya.
Hal itu tentunya sangat menyulitkan petani, apalagi perawatan tanaman
yang tidak murah. Pupuk yang diberikan mahal, jumlah panen yang melimpah
berbanding terbalik dengan harga yang diberikan. Hal itu disebabkan karena
perekonomian masyarakat yang lesu, distribusi yang terlalu banyak menyebabkan
harga menjadi menurun. Rendahnya permintaan konsumen dan banyak kendala saat
pendistribusian menyebabkan harga hasil pertanian hancur.
Dampak Kerugian bagi Masyarakat
Dengan menurunya harga dan daya minat hasil pertanian, tentunya memiliki
dampak yang cukup besar bagi masyarakat terutama dalam aspek ekonomi. Dampak
yang sangat terasa masyarakat Temanggung tentunya untuk petani, karena yang
merawat dan memberi pupuk justru tidak menikmati hasilnya. Petani menjual panen
dengan tarif rendah agar banyak pengepul yang membeli panennya dan tidak
terbuang sia-sia. Namun hayalan selalu beda dengan kenyataan, banyak pengepul
yang menawar harga yang jauh lebih rendah dari pada tarif yang diberikan,
sehinga terjadilah surplus.
Kerugian tidak hanya berdampak pada petani, melainkan pedagang di
pasaran juga mengalami kerugian. Terkadang ada pengepul yang membeli hasil
panen di petani dengan harga yang murah, dan dijual di pasar dengan harga
tinggi. Banyak pedagang mengambil untung yang terlalu banyak sehingga konsumen
ragu akan membeli dengan harga yang tinggi. Terlebih lagi jika konsumen
mengetahui harga sebenarnya dari petani di lapangan, pasti engan membeli hasil
panen di pasaran. Hal itu sangat berpengaruh terhadap pedagang di pasaran
karena akan mengalami kerugian juga, karena harga beli dengan minat pembeli
tidak sebanding lurus. Alhasil banyak sayuran di pasaran yang terbuang karena
busuk.
Selain bagi petani dan pedagang, konsumen juga merasakan dampaknya
juga. Pemasukan konsumen yang sekarang ini rendah, dan harga beli yang semakin
meningkat membuat minat daya beli konsumen menurun. Apalagi dengan adanya
Covid-19 pemerintah sedang gencang-gencangnya memberikan bantuan kepada
masyarakat yang kurang mampu berupa sembako hasil pertanian. Sehingga banyak
konsumen yang tidak membelinya di pasar, atau ada juga yang menanan hasil
pertanian di pekarangan rumahnya. Anggapan dari mereka hal itu justru lebih
sehat, karena masa sekarang ini masyarakat dituntut untuk berlomba-lomba dalam
kesehatan. Dengan cara mengkonsumsi makanan yang sehat.
Tambahkan Komentar