Oleh Danik Ermilasari
Mahasiswi PGMI STAINU Temanggung
Tahun ini dunia gencar dengan adanya
pandemi covid-19 tak terkecuali Indonesia. Seluruh masyarakat dihebohkan dengan
munculnya kasus pertama pada maret lalu. Seluruh elemen pemerintah tetap
melakukan segala macam cara agar kegiatan masyarakat tetap terlaksana walaupun
dengan keterbatasan waktu dan anjuran
pemerintah untuk menjaga kesehatan tetap harus dipatuhi dalam situasi yang
sangat kritis ini.
Pandemi covid-19 membuat seluruh aktifitas
berhenti sejenak dan berdampak pada sektor kehidupan masyarakat. Kegiatan
tradisi yang setiap tahun rutin dilaksanakan, pagelaran kesenian daerah,
pengajian akbar, serta acara lain terpaksa berhenti dengan adanya pandemi ini.
Menghindari wabah covid-19 tidaklah mudah, rutin mencucui tangan, memakai
masker, menjauhi kerumunan, dan menjaga jarak merupakan salah satu hal yang
harus dilakukan masyarakat. Begitupun beberapa kasus yang sulit kita ketahui
antara di penderita covid-19 positif dan negatif.
Penulis meneliti salah satu dusun yang
masih memegang teguh tradisi nenek moyang di tengah pandemi ini. Di dusun
tersebut masih kental akan tradisi saparan yang tek lekang oleh jaman, dusun
itu bernama Gatran, yang terletak di lereng Merbabu tepatnya di desa
Gondangsari.
Pelaksanaan Saparan
Saparan atau yang dikenal dengan istilah
nyadran merupakan tradisi turun
temurun dari nenek moyang yang dilaksanakan setiap tahunnya dengan maksud untuk
mensyukuri hasil bumi dan mendo’akan
para leluhur agar masyarakat yang masih hidup senantiasa diberi kehidupan yang
tentram, aman, sejahtera seperti semboyang bangsa Indonesia kehidupan yang
gemah ripah loh jinawi. Pada umumnya tradisi saparan disetiap daerah
berbeda-beda, dalam artian upacara peringatan ada yang dilaksanakan pada bulan safar, rajab atau ruah sedangkan
untuk hari dan tanggalnya juga berbeda-beda sesuai dengan adat yang berlaku di
daerah masing-masing.
Pelaksanaan saparan tahun ini berbeda
dengan tahun-tahun lalu, dimana masyarakat dapat melaksanakan saparan dengan
bebas, meriah dan bahagia. Dalam artian bebas berjabat tangan, saling berbicara
tanpa pelindung masker, meriah dengan acara hiburan kesenian daerah, bahagia
makan bersama serta kegiatan yang bersiap kumpul bersama. Di masa pandemi ini,
dunia yang dihebohkan oleh wabah covid-19 masyarakat tidak bisa seenaknya
melaksanakan tradisi yang sudah kental tersebut. Masyarakat harus mematuhi
aturan pemerintah dan berhati-hati sebagai bentuk menjaga kesehatan bersama.
Situasi yang kritis membuat semua
lapisan masyarakat merasa binggung mengenai tradisi yang sudah berjalan setiap
tahun dan menjadi warisan nenek moyang. Sebagian kelompok merasa senang dengan
pelaksanaan saparan yang tetap dilakuakn sebagai bentuk rasa syukur terhadap
hasil panennya, namun sebagian kelompok merasa sedih dengan pelaksanaan
saparan. Karena dampak covid-19 perekonomian menurun drastis. Namun tradisi
tetap tradisi yang harus dilaksanakan sebagai bentuk partisipasi, rasa syukur
dan berdo’a bersama walaupun secara sederhana.
Ditahun ini, kegiatan saparan terasa
berbeda, baik dari awal acara sampai akhir, semula dilaksanakan secara meriah,
senang, berkumpul bersama kini masyarakat harus lebih mematuhi protokol
kesehatan seperti mencuci tangan terlebih dahulu sebelum acara dimulai, memakai
masker, menjaga jarak satu sama lain.
Pada hari minggu wage tepatnya tanggal
19 September 2020, seluruh warga laki-laki mengadakan “berseh jalan” dan
“berseh makam” tujuannya yaitu membersihkan jalan disepanjang dusun agar tetap
asri dan harmonis sedangkan “ berseh makam” dilakukan setelah dzuhur sebagai
bentuk do’a bersama untuk para leluhur,
Pada hari senin kliwon, 20 September
2020 hari dimana puncak acara saparan dilaksanakan. Acara dimulai pukul 09.00
sampai selesai. Semua warga berkumpul dirumah bapak kadus dengan tetap mematuhi
protokol kesehatan mencuci tangan, memakai masker dan duduknya berjarak. Acara
berjalan dengan tertib dan hikmat, selain itu bapak kapolres kecamatan ikut
mengamankan kegiatan tersebut. Semua warga berbondong-bongong membawa 1 tumpeng
nasi, ingkung, pisang 1 tangkep, lauk pauk dan ketan. Acara dimulai dengan
tahlil bersama kemudian dilanjutkan penyampaikan informasi dari bapak kadus.
Setelah selesai, para pemuda berkumpul bersama untuk membagikan sesaji
disungai-sungai terdekat.
Pentas seni wayang kulit yang semula
diadakan untuk memeriahkan acara, kini berhenti untuk menghindarai kerumunan,
sementara itu saudara yang semula berbondong-bodong ikut memeriahkan acara
saparan kini hanya keluarga yang boleh mengiktuti acara s tersebut. Semua itu
demi menjaga kesehatan bersama, mematuhi aturan pemerintah tetapi tradisi tetap
berjalan. Kegiatan saparan bukan hanya suatu tradisi yang kental di masyarakat,
tradisi ini memiliki tujuan untuk mensyukuri hasil bumi yang telah didapatkan
satu tahun terakhir. Selain itu saparan juga dapat melestarikan budaya nenek
moyang, mengenalkan tradisi saparan ke generasi-generasi muda agar tetap
lestari walaupun zaman semakin modern.
Saparan menjadi alat pemersatu antar
anggota saudara, karena dengan adanya kegiatan saparan semua sanak saudara
berkunjung serta bersilahrurahmi bersama untuk mempererat tali persaudaraan.
Dalam suatu hadist dijelaskan barang siapa yang menjalin tali persaudaraan maka
rezeki akan selalu melimpah dan keselamatan selalu menyelimutinya.
Tambahkan Komentar