Oleh: Novia Sari Melati
Tinggal di Dusun
Losari RT 03/RW 02, Desa Losari, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) mendeklarasikan
virus korona atau Corona Virus Dissease per Maret 2020. Dengan adanya
deklarasi ini, maka seluruh aspek dan bidang dalam masyarakat yang berpotensi
menjangkit atau menyebarluaskan penularan virus korona dilarang keras, bahkan
ada beberapa negara yang menerapkan hukuman berat bagi siapapun yang melanggar,
seperti denda puluhan juta, hingga tembak mati seperti aturan di Korea Utara.
Hal itu dilakukan tak lain tak bukan hanya untuk mencegah meluasnya virus
merugikan ini.
Di Indonesia sendiri, virus korona bermula dari dua warga asing
yang dipersilahkan datang ke Indonesia tanpa melakukan swap atau rapid
test. Mulai dari saat itulah korona menjadi wabah yang bertamu di negeri
tercinta. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mencegah dan
mempersempit ruang gerak virus korona, seperti isolasi mandiri di rumah, saat
hendak bepergian harus disemprot dengan disinfektan terlebih dahulu. Bahkan,
protokol kesehatan yang semula hanya berjumlah tiga, bertambah menjadi lima
poin per Januari 2021. Diantara protokol kesehatan tersebut antara lain sebagai
berikut: (1) memakai masker, (2) mencuci tangan dengan sabun, (3) menjaga
jarak, (4) menjauhi kerumunan, dan (5) mengurangi mobilitas.
Larangan-larangan tersebut sampai pada istilah “di rumah saja”
yang diterapkan di seluruh aspek. Bahkan, di media sosial pun banyak sekali
beredar icon ajakan untuk seluruh warga masyarakat agar tetap berada di
rumah apabila tidak ada keperluan yang mendesak untuk dilakukan di luar rumah.
Himbauan tersebut dipatuhi oleh sebagian masyarakat, namun tidak bagi sebagian
yang lain. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, bahkan lansia, ada yang
memercayai adanya virus korona ini, ada pula yang sudah jenuh terhadap
informasi yang beredar di masyarakat hingga tak lagi memercayai korona.
Seperti yang sudah diduga, dampak bagi masyarakat yang tidak taat
aturan dan tidak mematuhi protokol kesehatan, banyak dari kalangan masyarakat
yang terjangkit positif virus korona, dan berakhir sembuh atau bahkan kematian.
Kasus-kasus tersebut seakan sudah menjadi sarapan di pagi hari, makan siang,
bahkan dinner pun diiringi dengan kasus-kasus akibat korona.
Selain itu, dampak dari himbauan “di rumah saja” ini pun beragam,
namun yang paling menonjol dari segi kekeluargaan adalah bertambahnya kasus
positif hamil dari kalangan ibu-ibu dengan pernikahan yang masih tergolong
muda, maupun pernikahan yang sudah lebih dari usia muda. Melansir dari
kompas.com, terdapat lebih dari 400.000 kehamilan baru yang terjadi selama
pandemi virus korona di Indonesia. Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, menduga bahwa
hal tersebut terjadi karena dalam keadaan pandemi seperti ini, banyak orang
yang tidak menggunakan alat kontrasepsi maupun melakukan program Keluarga
Berencana atau KB. Dengan banyaknya kasus kehamilan saat pandemi ini,
diperkirakan di awal tahun 2021 ini mungkin terdapat lebih dari 420.000 bayi
lahir.
Label “negara padat penduduk” pun menjadi semakin tajam dan kuat
karena adanya kasus ini. Dari pihak BKKBN pun sudah berusaha mengontrol kasus
kehamilan dengan diberikannya IUD (alat kontrasepsi). Namun, masyarakat
Indonesia yang begitu luas tentu merasakan tidak meratanya pemberian yang
dilakukan pemerintah, terutama untuk masyarakat yang tinggal di pelosok
pedesaan, atau masyarakat kedaerahan yang mengunggulkan kepercayaan bahwa
“banyak anak banyak rejeki”.
Demikian kasus korona menimbulkan dua mindset baru terkait
kata “positif” pasca pandemi. Upaya-upaya pemerintah harus lebih ditegaskan
kembali dan disamaratakan agar kasus dwi makna positif saat pandemi dapat
teratasi.
Tambahkan Komentar