Oleh : Arinda Vivi Fitria
Mahasiswa PAI STAINU Temanggung
Sudah berjalan setahun lebih lamanya kita menikmati takdir
dari Yang Maha Kuasa untuk menjalani hidup dengan sekat masker, bersalaman
dengan sekat handsainitizer, menghadiri acara dengan sekat jarak serta mengobati
kerinduan dengan kabar baik larangan mudik. Sudah setahun lamanya proses
belajar mengajar tidak terlaksana secara tatap muka, para guru tidak bertatap
muka dengan murid kelas barunya, baru saja masuk tiba-tiba sudah naik kelas
ataupun lulus. Lalu apa kegiatan siswa selama itu?
Hingga saat ini ruang kelas masih di pandang sebagai
pendidikan yang sesungguhnya oleh sebagian besar rakyat Indonesia dan kelas online
hanya sebagai jam tambahan. Kita menganggap bahwa ditutupnya ruang kelas sangat
berdampak terhadap guru, siswa serta orang tua di manapun. Seluruh sekolah di
paksa untuk memaksimalkan tekhnologi dalam pembelajaran, dan lagi-lagi kendala
muncul di lapangan, mulai dari pemahaman tekhnologi, kuota internet, tidak
adanya fasilitas ataupun fasilitator dalam melaksanakan pembeajaran. Tekhnologi
tidak selamanya maksimal dalam mentransfer ilmu pengetahuan, apalagi
pembelajaran yang membentuk nilai sikap dari siswa. Seperti contohnya adalah
Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama Islam. Mata pembelajaran
tersebut sangatlah penting untuk kita jadikan pusat perhatian, mata pelajaran
tersebut membentuk siswa untuk hidup demokratis dengan menerapkan perilaku terpuji
mulai dari bagaimana sikap kita terhadap orang tua, cara berteman yang baik,
aturan-aturan dalam bermain, hak dan kewajiban yang harus kita miliki dan yang
harus kita terima. Pembelajaran dikelaspun belum tentu mempunyai output yang
maksimal tentang akhlak terpuji.
Merunduknya Dedikasi Akhlak Terpuji
Fenomena pembelajaran jarak jauh yang hingga saat ini belum
usai menuai banyak keluh kesah, utamanya dari pihak orang tua yang kesal
sendiri melihat anak buahnya tidak taat dengan apa yang diperintahkan oleh
orang tuanya. Di suruh mengerjakan malah beralasan untuk menonton tiktok
terlebih dahulu, atau ingin mencari angin segar terlebih dahulu. Sekali mau
belajar dan mengerjakan tugas efeknya marah-marah ke orang tua. Mempunyai
banyak waktu luang tapi tidak mau membantu membereskan pekerjaan orang tua,
taunya hanya main saja. Kemudian keluh kesah dari orang tua di sampaikan keguru
yang sedang sama-sama mencari jalan keluar dan yang terpenting intinya tidak
boleh menerobos tanpa dosa dengan anjuran pemerintah yang diberlakukan untuk
tetap mematuhi protokol kesehatan. Dari fenomena tersebut kita dapat melihat
merunduknya dedikasi akhlak terpuji yang di miliki generasi sekarang.
Kontrol Emosional diri
Salah satu ajaran yang famous dari sang bapak
Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara adalah “ Setiap Orang menjadi Guru dan
Setiap Rumah adalah Sekolah” mengintegrasikan ajaran beliau dengan tujuan dari
Kurikulum 2013 maka setidaknya ada dua pembelajaran yang kita dapatkan.
Pertama, bahwa setiap anggota yang lebih dewasa harus dapat mengajarkan sikap
spiritual, sosial, pengetahuan dan ketrampilan. Kedua, bahwa setiap rumah
hendaknya menjadi tempat bagi setiap anggota keluarga untuk bisa memperoleh
sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan ketrampilan untuk kehidupan yang
penuh makna di masa depan. Dari penanaman sikap spiritual dan sosial yang dapat
membentuk akhlak terpuji yang di miliki oleh siswa.
Kembali kami ingatkan bagi orang tua untuk mengatur
emosional diri, kegiatan meniru yang di amati oleh siswa sangatlah berpegaruh
terhadap sikap yang diberikan kepada orang lain. Hingga saat ini masyarakat
menilai output pembelajaran siswa selain dari kepintarannya, yang lebih dominan
adalah dari sikap yang di berikan kepada masyarakat. Maka dari itu, marilah
kita bersama-sama meningkatkan akhlak terpuji dimulai dari menata diri kita
sendiri agar memiliki emosional yang terkontrol dengan baik.
Tambahkan Komentar