Oleh: Novia Sari Melati
Mahasiswi INISNU Temanggung
Semua orang
pasti memiliki impian besar untuk anak-anaknya saat mereka mengandung. “Kelak,
jika anakku lahir…” kurang lebih seperti itulah beberapa hal yang mungkin
dikatakan oleh orang tua. Tak hanya sifat kebatinan saja yang menjadi dambaan
setiap anak yang lahir ke muka bumi ini, bahkan tak ada orang tua yang tidak
menginginkan anaknya lahir dengan kondisi yang luar biasa, cantik, tampan,
putih, bersinar, dan memiliki kecerdasan alami yang membuat tumbuh kembang anak
menjadi aktif. Namun, beberapa orang tua pilihan telah ditetapkan Tuhan untuk
dititipi anak dengan kebutuhan khusus yang harus mereka penuhi, entah itu dalam
aspek psikolog, pendidikan, sosial, bahkan keterampilan.
Anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan dengan anak-anak secara
umum atau rata-rata anak seusianya (NEST, 2007). Anak tersebut membutuhkan
metode, material, pelayanan, pendidikan dan peralatan yang khusus agar dapat
mencapai perkembangan yang optimal karena anak-anak tersebut mungkin akan
belajar dengan kecepatan dan cara yang berbeda. Walaupun mereka memiliki
potensi dan kemampuan yang berbeda dengan anak-anak secara umum, mereka harus
mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama (Adiarti, 2014).
Seringkali
kita mendengar tentang anak berkebutuhan khusus ini sebagai anak-anak yang
tidak normal dan tidak bisa mengikuti kembang-tumbuh anak pada umumnya. Hal itu
tidak bisa disalahkan karena memang benar adanya. Namun berbeda dengan pemikiran
masyarakat yang sudah tertanam entah sejak kapan bahwa anak berkebutuhan khusus
ini tidak bisa mendapatkan hak seperti anak pada umumnya. Padahal kita ketahui
di sini, bahwa mereka berhak mendapatkan perhatian yang lebih dari anak-anak
normal pada umumnya. Pemikiran yang melenceng inilah yang harus kembali
dibenahi supaya tidak ada kesenjangan antara anak-anak normal dengan anak-anak
berkebutuhan khusus.
Dalam
menyamaratakan hak, perlu diperhatikan beberapa hal seperti cara bersosial,
keterampilan anak, cara merawat diri dengan baik, bahkan pendidikan sebenarnya
adalah hal esensial bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Tetapi selama ini yang
sering kita lihat adalah Sekolah Luar Biasa (SLB) hanya mengadakan
program-program yang berbasis keterampilan seperti meronce, menjahit, menyulam,
dan lain-lain sehingga fokus pada pendidikan akademik menjadi berkurang. Padahal
jika kita melihat beberapa fakta menampar pemikiran bahwa anak-anak
berkebutuhan khusus tak memiliki kompetensi akademik.
Banyak
anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki bakat dalam mengasah hafalan,
menghitung cepat, dan bahkan beberapa kasus menemukan anak-anak berkebutuhan
khusus yang memiliki IQ yang tinggi. Meskipun presentase tersebut masih sangat
kecil, dapat dikatakan bahwa setiap anak baik normal maupun berkebutuhan khusus
itu memiliki hak yang sama dalam pendidikan, sosial, budaya, dan berbagai aspek
lainnya. Untuk itulah sebagai warga masyarakat, kita perlu memperbaiki dari
dalam diri sendiri kemudian mengajak lingkungan sekitar dalam menata mindset
terhadap anak berkebutuhan khusus.
Dalam
pendidikan, terdapat dua faktor yang mempengaruhi anak berkebutuhan khusus
dapat diterima atau tidak, yaitu sistem kurikulum dan lingkungan sekitar anak.
Menjalankan
pendidikan berbasis inklusi untuk anak-anak berkebutuhan khusus bukanlah sebuah
hal yang sering kita temukan dalam sistem tatanan pendidikan di Indonesia.
Pemerintah hanya mewajibkan setiap kota setidaknya memilki satu sekolah yang
menerapkan pendidikan inklusi di dalamnya. Sekolah tersebut adalah sekolah yang
menggunakan kurikulum inklusi dari pemerintah dan memiliki sikap khusus dalam
menerima calon peserta didik berkebutuhan khusus. Dimulai dari kepala sekolah,
tenaga pendidik, karyawan, bahkan lingkungan sekitar dituntut untuk mendukung
adanya sekolah inklusi tersebut.
Dalam aplikasi
pembelajaran pendidikan inklusi, tentulah banyak hal yang harus dipersiapkan
seperti kurikulum, model, metode, strategi, tujuan, dan masih banyak lagi guna
mendukung berjalannya sistem pendidikan inklusi yang baik.
Tambahkan Komentar