Oleh Iis Narahmalia
Mahasiswa PGMI INISNU Temanggung
Manusia adalah makhluk individu dan sosial, dalam keterkaitan relasi dengan tuhanya manusia membutuhkan orang lain tidak hanya dalam segi materi saja namun juga perihal moral akan kasih sayang. Karena terkadang orang bisa menumbuhkan cinta tidak hanya sekedar lewat materi namun juga rasa kasih sayang yang tidak selalu memandang akan materi.
Dengan demikian hidup manusia
tidaklah terlepas dengan jalinan interaksi baik secara vertikal maupun
horizontal yang mana dalam hal itu memiliki tingkat pengaruh masing-masing.
Interaksi yang terjalin atau timbul dalam kegiatan belajar mengajar baik yang
terjadi antara ke dua orang tua maupun anak, atau seorang guru dengan muridnya
merupakan interaksi edukatif yang mampu mendorong seorang anak dalam
mengembangkan imajinatifnya dalam belajar.
Oleh karena itu setiap interaksi dalam spesifik pada bidang
pengajaran perlu adanya respon dalam ranah edukatif yang mampu membantu peserta
didik mengembangkan kreatifitasnya dalam kegiatan belajarnya baik yang berjalan
di sekolah maupun di rumah. Interaksi belajar mengajar diharap mampu memberikan
motivasi serta reinforcement kepada pihak warga belajar/siswa/subject
pendidik, agar dapat melakukan belajar secara optimal.
Pendidikan di Indonesia secara umum memperlihatkan
kondisi yang cukup baik karena setidaknya penduduk Indonesia secara garis besar
penduduknya dapat mengenyam pendidikan meskipun program wajib belajar 12 tahun
belum berjalan secara maksimal. Hal ini mampu meminimkan kondisi buta huruf
sebagai salah satu masalah sosial yang dialami bangsa Indonesia, dimana saat
ini menjadi sebuah permasalahan bukan terletak pada sejauh mana anak Indonesia
mampu mengenyam pendidikan formal, akan teatapi permasalahan yang kini perlu
dikaji bahwasanya keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK) jenjang usia dasar
tidak banyak diterima pada sekolah umum padahal mereka juga memiliki hak
memperoleh pendidikan.
Tidak bisa dipungkiri memang hal ini harus secara matang
dipertimbangkan bahwa seorang anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam mengenyam
pendidikan memerlukan berbagai fasilitas yang seharusnya lebih memadahi baik
secara sarana prasarana maupun tenaga pendidiknya. Hal itulah yang mungkin
menjadi pertimbangan pihak sekolah umum tidak menerima anak berkebutuhan khusus
(ABK) untuk mengikuti kegiatan belajar setaraf dengan anak pada umunya.
Tindak kekerasan serta diskriminasi yang diterima oleh
ABK di Indonesia sepertinya belum menjadi masalah bagi masyarakat luas. Hal
tersebut menunjukkan tingkat kepedulian masyarakat dengan kehidupan ABK yang
masih rendah. Pihak sekolah sebagai lembaga formal penyelenggara pendidikan
seharusnya tidak mempermasalah-kan masalah keterbatasan fisik siswa. Hal ini
dikarenakan setiap anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.
Sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Dasar pasal 32 ayat 1 yang
berbunyi “Setiap warga berhak mendapatkan pendidikan”.
Selain dari ketidak mauan pihak sekolah menerima anak berkebutuhan khusus sering kali juga terjadi tindak kekerasan atau deskriminasi yang masih terjadi. Kasus kekerasan dan diskriminasi pada ABK masih dianggap hal wajar dalam realita kehidupan di masyarakat.
Hal ini seperti diungkapkan oleh Susanto selaku Komisioner bidang pendidikan KPAI bahwa “diskriminasi kepada anak yang berkebutuhan khusus dan anak-anak minoritas dianggap hal wajar. Menurut Permendiknas No. 70 tahun 2009 pasal 3 ayat 2: peserta didik yang berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya adalah peserta didik yang memiliki memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Sedangkan pada pasal 3 ayat 2 disebutkan
bahwa “tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,
berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi
korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya,
memiliki kelainan lainnya, dan tunaganda merupakan jenis peserta didik yang
memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
Dari beberapa hal tersebut menjadi tantangan bagi masyarakat dan pemerintah sendiri dalam melindungi serta berperan langsung untuk menjalin kasih terhadap anak berkebutuhan khusus terlebih pada jenjang sekolah dasar yang menjadi tonggak awal dalam menguatkan anak tersebut kedepanya. Kita sebagai makhluk yang diakaruniai kelengkapan dalam segi fisik senantiasa memotivasi serta memberikan uluran tangan secara materi dan kasih sayang.
Adanya program pendidikan inklusi yang
dicanangkan pemerintah dibeberapa daerah karena hal itu menjadi sebuah bukti
bahwa setiap jiwa yang hidup memiliki hak asasi yang sama terutama dalam bidang
pengajaran. Dengan progrma tersebut setidaknya mampu meningkatkan tingkat
kepedulian terhadap pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK).
Tambahkan Komentar