Oleh Maimunah
Mahasiswi PGMI INISNU Temanggung
Kebutuhan akan bimbingan sangat dipengaruhi oleh
faktor: filosofis, psikologis, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi,
demokratisasi dalam pendidikan, dan perluasaan program pendidikan. Latar
belakang folosofis berkaitan dengan pandangan tentang hakekat tetang manusia.
Salah satu filsafat yang berpengaruh besar terhadap timbulnya semangat
memberikan bimbingan adalah filsafat humanisme. Aliran ini berpandangan bahwa
manusia memiliki potensi untuk dapat dikembangkan seoptimal mungkin, termasuk
anak berkebutuhan khusus yang belajar bersama di kelas reguler.
Bahwa dalam pelaksanaan pendidikan inklusif perlu keseriusan
guru bimbingan dan atau guru pembimbing khusus dan pihak lain yang terlibat di
dalamnya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi anak berkebutuhan khusus
dalam berbagai aspek di sekolah, yaitu latar belakang psikologis berkaitan erat
dengan proses perkembangan manusia yang sifatnya unik, berbeda dari individu
lain dalam perkembangannya. Implikasi dari keragaman ini ialah bahwa individu
memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih dan mengembangkan diri sesuai
dengan keunikan dan potensi masing-masing tanpa menimbulkan konflik dengan
lingkungannya. Dari sisi keunikan dan keragaman individu bimbingan diperlukan
untuk membantu setiap individu mencapai perkembangan yang sehat di dalam
lingkungannya.
Perluasaan program pendidikan memberikan kesempatan
kepada siswa berkebutuhan khusus untuk mencapai tingkat pendidikan setinggi
mungkin sesuai dengan kemampuannya. Arah ini menimbulkan kebutuhan akan
bimbingan yaitu dalam memilih kelanjutan sekolah bagi anak berkebutuhan khusus
yang paling tepat, serta menilai kemampuan siswa yang bersangkutan,
memung-kinkan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kondisi
tersebut membutuhkan bimbingan untuk menanggulanginya secara sistematis.
Gartner dan Lipsky, (1997) telah mengembangkan tiga
model dalam pendidikan inklusif sebagai berikut:
Pertama, Model
Konsultan (Consultant Model). Model ini dipandang cukup kompetibel dalam
perspektif hukum yang berkaitan dengan populasi siswa dengan kebutuhan
pendidikan khusus. Guru pendidikan khusus dilatih kembali agar dapat menguasai
keterampilan-keterampilan dalam mengajar bagi anak-anak yang membutuhkan
pendidikan khusus. Mereka diafiliasikan pada sekolah reguler dengan tugas
membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran di kelas,
pendekatan yang digunakan, tidak bersifat instruktif, tetapi secara luwes
langsung dapat memberikan bantuan baik kepada guru reguler maupun kepada siswa
yang membutuhkan layanan pendidikan khusus yang oleh guru reguler dinyatakan
mengalami kesulitan dalam belajar sesuai dengan kurikulum yang digunakan.
Jadwal pertemuan secara reguler dapat disepakati bersama dan direkomendasikan
pada sekolah.
Kedua, Model Tim (Teaming
Model). Guru pendidikan khusus dilibatkan secara langsung dalam tim
perencanaan mingguan dan mempunyai posisi sederajat dengan anggota tim lainnya.
Materi yang dibahas dalam tim meliputi penyelidikan informasi tentang siswa,
penentuan strategi pembelajaran yang akan digunakan modifikasi ide-ide dalam
pelaksanaan asesmen, dan strategi-strategi tingkah laku. Tim secara konsisten
mengadakan pertemuan reguler bersama dengan anggotanya. Model tim ini setiap
anggota memiliki independensi, namun komitmennya adalah keberhasilan siswa.
Seluruh anggota tim bekerja bersama sesuai dengan bidang keahliannya, baik yang
datang dari pendidikan umum maupun dari pendidikan khusus.
Kelemahan dari model ini adalah bila terjadi
resistensi antar-anggota tim baik dalam implementasi maupun modifikasi, lamban
dalam memberikan layanan terhadap siswa yang mengalami kesulitan, rasio/konsep
guru terlalu tinggi bagi siswa, dan batas kewenangan antara guru gusus dan guru
kelas.
Ketiga, Model
Kolaborasi Guru-Bantu (Collaborative Co-teaching Model). Penggunaan
model ini, guru-guru dari pendidikan umum dan pendidikan khusus bekerja bersama
dalam mengajar siswa di dalam kelas baik ada atau tidak ada siswa yang
berkelainan di dalam kelas. Keduanya berkewenangan dalam perencanaan
pembelajaran, pengalihan kecakan, asesmen, dan kedisiplinan. Para siswa
memperoleh perencanaan akademik sesuai dengan usianya, dorongan layanan, dan
kemungkinan modifikasi dalam pembelajaran. Model ini masalah-masalah
dijadwalkan secara perinci, selalu dan secara terus-menerus diadakan komunikasi
antara para guru, dan anak-anak yang lemah mendapat pengajaran secara bersama
atau model-model konsultan. Kerja sama dalam pengajaran dapat diorganisasikan
dengan cara, satu guru satu tugas, pengajaran secara paralel, pengajaran dengan
batas materi/unit.
Tambahkan Komentar