Oleh Riska Hidayati 

Pendidikan anak usia dini (0–6 tahun) merupakan periode emas (golden age) di mana perkembangan otak anak mencapai puncaknya. Investasi pada jenjang PAUD memberikan dampak jangka panjang yang besar terhadap perkembangan kognitif, sosial-emosional, serta kesiapan belajar anak di masa depan.

Di Indonesia, kesadaran akan pentingnya PAUD semakin meningkat, terlihat dari berbagai kebijakan dan inisiatif pemerintah yang mendorong terwujudnya PAUD Holistik Integratif (PAUD HI).

Namun demikian, implementasi PAUD di lapangan masih dihadapkan pada sejumlah tantangan strategis yang memerlukan penanganan terarah dan berkesinambungan. Hambatan tersebut berkaitan dengan kondisi geografis Indonesia yang luas, kesenjangan sosial-ekonomi, serta pemahaman masyarakat yang masih beragam mengenai hakikat pendidikan anak usia dini yang seharusnya menitikberatkan pada kegiatan bermain dan pembentukan karakter.

Oleh karena itu, mengenali serta merumuskan strategi untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut menjadi langkah penting dalam mewujudkan cita-cita Generasi Emas Indonesia.


1. Akses dan Pemerataan Layanan

Meskipun Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD terus meningkat, masih terdapat kesenjangan signifikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan, serta antara kelompok sosial-ekonomi. Anak-anak dari keluarga miskin atau yang tinggal di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) sering kali tidak memiliki akses terhadap layanan PAUD yang berkualitas.

Isu:

Disparitas APK PAUD yang tinggi dan belum meratanya pembangunan sarana prasarana.

Strategi:

Mendorong implementasi program “Satu Desa Satu PAUD” yang berstandar kualitas.

Mengoptimalkan peran pemerintah daerah dalam penyaluran Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) PAUD secara adil dan proporsional.

Mengembangkan model layanan PAUD yang adaptif dan fleksibel, seperti PAUD berbasis komunitas, untuk menjangkau anak-anak di wilayah dengan akses terbatas.

2. Kualitas Pendidik dan Kurikulum

Kualitas layanan PAUD sangat ditentukan oleh kompetensi guru. Banyak pendidik PAUD di Indonesia, terutama di lembaga swasta kecil, belum memiliki kualifikasi S-1 PG PAUD dan menghadapi tantangan kesejahteraan, yang pada akhirnya memengaruhi kualitas pembelajaran.

Isu:

Rendahnya kualifikasi dan kompetensi teknis mayoritas guru PAUD, serta kesejahteraan yang masih minim.

Strategi:

Peningkatan Kompetensi: Mengimplementasikan program pelatihan intensif terkait Kurikulum Merdeka, khususnya dalam penguasaan Psikologi Perkembangan Anak dan metodologi pembelajaran berbasis bermain (play-based learning).

Kesejahteraan: Mengadvokasi pengakuan dan remunerasi yang layak bagi guru PAUD, serta memastikan mereka mendapat kesempatan sertifikasi dan pengembangan profesional yang setara.

Implementasi PAUD HI: Memastikan kurikulum diintegrasikan secara holistik, mencakup aspek kesehatan, gizi, pengasuhan, dan perlindungan anak, sesuai dengan Strategi Nasional PAUD Holistik Integratif.

3. Miskonsepsi Kesiapan Sekolah dan Tekanan Calistung Dini

Isu strategis yang paling merusak secara psikologis adalah adanya tekanan terhadap Calistung (Membaca, Menulis, Berhitung) dini sebagai syarat masuk Sekolah Dasar (SD).

Isu:

Tekanan Calistung dini mengabaikan pengembangan fungsi eksekutif, motorik halus, serta kematangan sosial-emosional anak.

Strategi:

Edukasi Publik: Menggencarkan kampanye kepada orang tua dan masyarakat bahwa kesiapan sekolah yang holistik jauh lebih penting daripada kemampuan Calistung.

Regulasi: Memperkuat aturan yang melarang tes Calistung sebagai syarat penerimaan siswa baru di SD, sesuai kebijakan Merdeka Belajar.

Fokus Kurikulum: Mendorong guru untuk berfokus pada Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dan aktivitas bermain yang bermakna guna mengembangkan kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, serta regulasi diri anak.

Simpulan

Jenjang PAUD memegang peranan vital dalam menentukan masa depan bangsa. Isu-isu strategis seperti pemerataan akses, peningkatan kualitas guru, penguatan program PAUD HI, serta koreksi terhadap miskonsepsi Calistung memerlukan perhatian serius dan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan: pemerintah, lembaga pendidikan, pendidik, dan keluarga.


Dengan memfokuskan strategi pada pendekatan holistik, berbasis bermain, dan berorientasi pada pengembangan seluruh potensi anak, Indonesia dapat memperkuat fondasi masa golden age dan memastikan setiap anak tumbuh menjadi individu yang sehat, cerdas, serta berkarakter unggul—siap menghadapi tantangan global.


TABAYUNA.com - RA Al Ihsan Soborejo merupakan lembaga PAUD di bawah binaan Yayasan Pendidikan Muslimat NU yang berada di Temanggung Jawa Tengah. Di RA Al Ihsan Soborejo, pembiasaan pengenalan agama dilakukan secara rutin melalui kegiatan shalat Dhuha dan mengaji setiap hari Jum'at. Kegiatan ini tidak hanya bertujuan mengenalkan anak pada praktik ibadah sejak dini, namun juga menumbuhkan karakter positif seperti kedisiplinan, tanggung jawab, dan rasa cinta pada nilai-nilai agama. Melalui pembiasaan yang konsisten ini, anak-anak menjadi terbiasa sehingga mereka bisa melaksanakan ibadah tersebut dengan baik saat dewasa.

 

Prinsip "anak bisa karena biasa" sangat dipegang teguh di RA Al Ihsan Soborejo, di mana pembiasaan dilakukan secara berulang agar menjadi kebiasaan alami bagi anak. Guru dan pendidik di lembaga ini secara aktif mendampingi dan membimbing anak dalam shalat Dhuha dan kegiatan mengaji agar aktivitas keagamaan ini menjadi bagian dari rutinitas dan kehidupan anak.

 

Dengan membiasakan anak melakukan ibadah secara rutin sejak usia PAUD, diharapkan anak-anak tidak hanya sekadar hafal gerakan atau bacaan tetapi juga menanamkan nilai spiritual dan moral dalam diri. Sehingga, pendidikan agama di RA Al Ihsan Soborejo menjadi fondasi pembentukan karakter yang kuat bagi anak-anak sejak awal masa tumbuh kembangnya.

 

Peran guru sangat penting dalam membimbing serta memberikan contoh praktik keagamaan yang benar dan menyenangkan, sementara orang tua juga diharapkan melanjutkan pembiasaan dan dukungan di rumah agar anak semakin mantap dalam praktik keagamaannya.

Dengan cara ini, anak-anak di RA Al Ihsan Soborejo mulai terbiasa beribadah dan mengenal agama secara bertahap sehingga memiliki karakter religius dan kesiapan menjalankan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.

 

Orangtua pun sangat senang dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap adanya pembiasaan shalat Dhuha dan mengaji setiap hari Jum’at di RA Al Ihsan Soborejo. Mereka melihat bahwa anak-anak menjadi lebih suka dan bersemangat dalam melaksanakan kegiatan tersebut karena dilakukan secara rutin dan dalam suasana yang menyenangkan. Pembiasaan ini membuat anak-anak tidak hanya sekadar mengikuti, tetapi benar-benar menikmati proses belajar agama sehingga tumbuh rasa cinta dan kesadaran beribadah sejak dini. Dukungan orang tua yang positif ini juga memperkuat sinergi antara sekolah dan keluarga dalam membangun karakter religius anak secara berkelanjutan.

 

Oleh : Nur Hidayah_Temanggung

 

 

 

 

 

 


Semarang, Tabayuna.com
— Ruang Oval lantai dua Dinas Pendidikan Kota Semarang, Selasa (11/11/2025), menjadi pusat perhatian dunia pendidikan daerah. Di tempat inilah, Dr. Hamidulloh Ibda, Wakil Rektor INISNU Temanggung, tampil sebagai reviewer utama dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Pembuatan Buku Numerasi Berbasis EVI MAP (Ethnoscience Village Map) yang diinisiasi Dinas Pendidikan Kota Semarang bekerja sama dengan Tanoto Foundation.


FGD tersebut mempertemukan para akademisi, guru, pejabat dinas, dan penggerak literasi dalam suasana akademik yang berpadu dengan semangat kebudayaan lokal. Kegiatan ini menjadi puncak refleksi atas perjalanan panjang pendampingan tiga puluh guru dari berbagai sekolah dasar di Semarang yang menulis buku pembelajaran berbasis etnosains dan numerasi.


Dalam arahannya, Kabid GTK Dinas Pendidikan Kota Semarang, Dr. Miftahudin, S.Pd., M.Si., memberikan apresiasi kepada tim Fasper Berkelas yang terdiri atas Tri Sugiyono, S.Pd., M.Pd., Dian Marta Wijayanti, M.Pd., Martini, S.Pd., M.Pd., dan Eko Prasetyo Nur Utomo, S.Pd. Tim ini mendapat dukungan penuh dari Tanoto Foundation untuk melatih dan mendampingi para guru menulis karya ilmiah populer berupa buku numerasi berbasis EVI MAP. “Kami berharap kolaborasi ini terus berlanjut. Tanoto Foundation jangan kapok mendukung gerakan literasi dan numerasi di Kota Semarang,” ujar Miftahudin, disambut tawa ringan para peserta.


Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Semarang, Drs. Ali Sofyan, M.M., juga menegaskan apresiasinya terhadap para guru yang mampu menghasilkan karya buku dalam waktu singkat namun berkualitas. Menurutnya, proyek ini bukan sekadar kegiatan pelatihan, melainkan bukti nyata bahwa guru dapat menjadi penulis dan inovator pembelajaran.


Dalam sesi pemaparan program, Tri Sugiyono menjelaskan bahwa kegiatan yang dijalankan sejak Juli hingga Oktober 2025 ini berfokus pada peningkatan kompetensi guru dan siswa. Selama empat bulan, guru-guru sasaran mengikuti pelatihan intensif tentang filosofi dan penerapan Ethnoscience Village Map, kemudian menulis buku yang mengintegrasikan konteks budaya lokal dalam pembelajaran matematika. Hasilnya, para guru tidak hanya menciptakan bahan ajar baru, tetapi juga mempraktikkan pendekatan kontekstual di kelas. Targetnya, terjadi peningkatan kompetensi numerasi siswa hingga 20 persen, terutama dalam domain pengukuran.


Sebagai reviewer utama, Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., memberikan ulasan mendalam terhadap karya para guru. Ia menilai bahwa pendekatan EVI MAP bukan hanya proyek penulisan buku, tetapi sebuah gerakan untuk memulihkan hubungan antara ilmu dan budaya. “Numerasi berbasis Ethnoscience Village Map mengajarkan anak tidak hanya berhitung, tetapi juga memahami bagaimana masyarakatnya berpikir, mengukur, berdagang, dan mengelola lingkungan. Ini adalah bentuk literasi budaya yang hidup,” tegas Ibda dalam paparannya.


Sebanyak tiga puluh buku karya guru kemudian direviu bersama. Tema yang diangkat sangat beragam, mulai dari tradisi Apitan di Sampangan, sejarah Ereveld Candi di Gajahmungkur, kisah PDAM Tirta Moedal, rumah kolonial di Sompok, hingga aktivitas ekonomi di Kampung Gumregah. Semua karya menjahit nilai-nilai budaya ke dalam konteks numerasi, menjadikan matematika lebih bermakna bagi siswa.


Ibda menilai, secara umum, buku-buku tersebut telah menarik dan memiliki distingsi kuat karena menampilkan kekayaan lokal Semarang dengan cara ilmiah dan kreatif. Struktur pembelajarannya pun lengkap, mulai dari bacaan naratif, lembar kerja siswa, asesmen formatif, hingga refleksi. Bahasa yang digunakan ringan dan komunikatif, mudah dipahami oleh anak sekolah dasar. Integrasi antara literasi dan numerasi tampak jelas, di mana cerita budaya menjadi titik tolak dalam memahami konsep matematis.


Namun, Ibda juga memberikan catatan kritis. Menurutnya, banyak karya yang masih berhenti pada level local wisdom (kearifan lokal), belum mencapai local knowledge (pengetahuan lokal) dan local genius (kecerdasan lokal) khas Semarang. Unsur etnosains belum tergali secara mendalam, karena penulis cenderung menonjolkan cerita tanpa menyingkap sains di baliknya—seperti teknik pengukuran tradisional, sistem bangunan, atau logika matematis dalam aktivitas masyarakat. Soal-soal numerasi juga masih dominan bersifat prosedural, belum banyak mendorong penalaran tingkat tinggi.


Kendati demikian, Ibda menekankan bahwa kekuatan utama proyek ini justru terletak pada semangat kolaboratifnya. “Buku-buku EVI MAP bukan hanya bahan ajar, tapi cermin kesadaran guru sebagai peneliti lokal yang merekam dan menghidupkan pengetahuan masyarakatnya,” ujarnya. Menurutnya, EVI MAP adalah wujud pendidikan yang berpihak pada budaya, berpijak pada lokalitas, dan menembus batas ruang kelas. Pendidikan dasar, lanjutnya, seharusnya tidak hanya menumbuhkan kemampuan kognitif, tetapi juga karakter, kebanggaan, serta kesadaran terhadap akar budaya sendiri.


Dalam sesi diskusi terbuka, para reviewer dan peserta memberikan rekomendasi penguatan. Buku-buku EVI MAP disarankan agar dilengkapi pengantar teoretis yang menjelaskan konsep etnosains secara sederhana, disertai peta visual interaktif dan soal berbasis proyek. Rubrik asesmen yang menilai proses berpikir siswa dinilai penting agar hasil belajar tidak hanya dilihat dari angka, tetapi juga dari argumentasi dan strategi yang digunakan siswa. Refleksi guru pun perlu ditambahkan agar pembelajaran menjadi pengalaman reflektif yang berkelanjutan.


Kegiatan ditutup dengan peluncuran resmi tiga puluh buku EVI MAP berbasis numerasi. Kabid Pembinaan SD Dinas Pendidikan Kota Semarang, Aji Nur Setiawan, S.STP., M.Si., secara simbolis melaunching karya para guru tersebut dan mengaku takjub dengan hasil yang di luar ekspektasi. “Saya tidak menyangka, hasilnya sebagus ini,” ujarnya dalam forum yang dimoderatori oleh Dian Marta Wijayanti itu.


Dari keseluruhan hasil review, proyek EVI MAP dinilai memiliki potensi besar untuk dikembangkan secara nasional. Para ahli merekomendasikan agar buku-buku tersebut diberi ISBN dan dijadikan model pembelajaran numerasi kontekstual di berbagai daerah. Pendekatan ini sejalan dengan semangat Contextual Teaching and Learning dan nilai-nilai Kurikulum Merdeka yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif dalam pembelajaran.


FGD EVI MAP akhirnya menjadi tonggak penting dalam perjalanan pendidikan di Kota Semarang. Acara ini bukan sekadar forum akademik, melainkan gerakan kebudayaan yang menjadikan belajar sebagai cara memahami kehidupan. Di tengah tantangan rendahnya literasi dan numerasi nasional, para guru di Kota Semarang menunjukkan arah baru: menghadirkan sains dari kampung sendiri, membangun konsep dari tradisi, dan menjadikan budaya sebagai jantung pembelajaran. Melalui EVI MAP, anak-anak tidak hanya belajar menghitung, tetapi juga belajar menghargai warisan pengetahuan leluhur yang kini menjadi bagian dari sains modern.


Dalam kesempatan itu, turut hadir Pendamping Proyek Literasi Numerasi Normalia Eka Pratiwi, S.Pd.SD., M.Pd., perwakilan Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang, Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik, dan Persandian Kota Semarang, serta sejumlah guru penulis buku dari berbagai sekolah di Kota Semarang. (*)


Banyumas, Tabayuna.com -Lembaga Pendidikan Ma'arif NU PWNU Jawa Tengah kembali menyelenggarakan Seleksi Nasional Magang Jepang bersama Kemnaker RI dan IM Japan yang dilaksanakan di SMK Ma'arif NU 1 Sumpiuh Banyumas pada Senin - Jum'at (10-14/11/25)

Kegiatan ini diawali dengan pembukaan pada Senin (10/11/25) pukul 09.00 di GOR SMK Ma'arif NU 1 Sumpiuh, dan dihadiri oleh Ketua PWNU Jawa Tengah, Koordinator Pembinaan Penyelenggara Pemagangan Luar Negeri Kemnaker RI, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Koperasi dan UKM Banyumas dan diikuti oleh 174 peserta dari berbagai LPK yang sudah mengikuti Diklat dan siap untuk ikut seleknas, sebagaimana disampaikan Ketua LP Ma'arif NU PWNU Jawa Tengah, Fakhruddin Karmani dalam Laporan Kegiatannya.

Kepala Dinas Tenaga Kerja, Koperasi dan UKM Banyumas, Wahyu Dewanto juga memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada LP Ma'arif NU dalam membantu menfasilitasi dan menyelenggarakan Seleksi Nasional Magang Jepang.

Dalam arahannya, Gus Rozin, sapaan Ketua PWNU Jawa Tengah menghimbau kepada peserta agar tetep semangat dan serius dalam mengikuti tahapan ini. "Karena ini merupakan Jihad, Magang Jepang ini adalah Jihad yang sebenar-benarnya," kata beliau.

Karena dengan mengikuti program ini disamping tidak mengantungkan kepada orang tua, tentunya juga bisa membantu mereka, dan sedikit banyak tentu membantu pertumbuhan ekonomi Negara, dan semoga keberangkatan anak-anak nanti ke Jepang bisa membantu pemerintah dalam menyongsong Indonesia emas tahun 2045" tuturnya.

Kegiatan dibuka oleh Koordinator Pembinaan Penyelenggara Pemagangan Luar Negeri Kemnaker RI, Muhamad Shihab Adrie, dalam arahannya mewakili Sekjen Kemnaker, beliau menyampaikan bahwa Program pemagangan ke jepang merupakan program kerjasama strategis antar pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang. "Ini merupakan program strategis negara, kami sudah mengirimkan kurang lebih 150.000 peserta magang ke jepang selama mulai dari awal kerjasama kita dengan IM Japan sampai sekarang, dan untuk tahun 2025 sekitar 1.900 peserta kami kirimkan melalui tersebut" tuturnya.

"Kami tidak membatasi untuk jumlah peserta, kami tiap bulan kurang lebih 250 peserta kita berangkatkan ke jepang, pak menteri juga akan bernegosiasi dengan jepang untuk menambah jumlah kuota magang dari Indonesia, biar lebih banyak lagi anak-anak yang bisa kita berangkatkan ke sana. Harapan kami melalui program ini lahir anak-anak yang terampil, disiplin dan berdikasi tinggi. Laksanakan dengan sportif semoga proses rekruitmen berjalan dengan lancar objektif dan menghasilkan anak-anak yang hebat" imbuhnya.

Kemnaker RI juga merespon dan akan menindaklanjuti  pengajuan jadwal seleksi nasional dari Ma'arif NU Jateng untuk tahun 2026 dengan pengajuan di empat zona. Zona 1 pada bulan Februari dilaksanakan di Kantor PCNU Kab. Magelang, Zona 2 pada bulan Juni di SMK Yasiha Gubuk Grobogan, Zona 3 pada bulan Agustus di SMK Ma'arif NU 1 Sumpiuh Banyumas, Zona 4 pada bulan Oktober di SMK Syafi'i Akrom Kota. Pekalongan. (*)